Kamis, 08 September 2016

Tentang Dewan Pendidikan


DEWAN PENDIDIKAN DAN KOMITE SEKOLAH DALAM PP NOMOR 17 TAHUN 2010
Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah dalam PP Nomor 17 Tahun 2010

Oleh : Tutug Edi Utomo

Sekolah-sekolah kita terletak pada jantung masyarakat. Mereka memiliki satu tradisi yang kaya tentang keikutsertaan orangtua dan masyarakat dalam pendidikan
(Menteri Pendidikan dan Pelatihan, Ontario, Kanada)

Di masa sekarang dan akan datang pengelolaan pendidikan harus lebih demokratis dalam bentuk memberikan otonomi seluas-luasnya kepada masyarakat. Saat ini pemerintah sedang menggulirkan kebijakan otonomi pendidikan. Ini merupakan momentum bagi masyarakat untuk berpartisipasi tidak saja dalam aspek manajemennya, lebih penting lagi adalah dalam memperkaya muatan pendidikan dengan wacana kultural, sosial, agama, dan lain sebagainya yang berkembang di lingkungan sekitarnya (Abdul Malik Fajar)

Komite Sekolah merupakan forum pengambilan keputusan bersama antara sekolah dan masyarakat dalam perencanaan, implementasi, monitoring, dan evaluasi program kerja yang dilakukan oleh sekolah (Indra Jati Sidi)

Peristiwa yang paling buruk (di dunia ini) adalah jika sekolah dijalankan dengan metode ancaman, paksaan, dan otoritas semu (Albert Einstein)

Barang siapa berani mengajar, dia tidak boleh berhenti belajar
(John Cotton Dana)

Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah kini sedang laris menjadi pilihan untuk tajuk penelitian mahasiswa pascasarjana. Seorang mahasiswa S2 yang sedang menulis tesis, secara spontan mengajukan pertanyaan yang amat mendasar kepada penulis. Mengapa harus dibentuk Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah? Padahal kita sudah mempunyai Kementerian Pendidikan Nasional yang memang bertugas dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan. Mahasiswa ini juga memberikan alasan, karena negara telah mempunyai Dinas Pendidikan mulai di tingkat provinsi sampai tingkat kabupaten, bahkan juga telah ada Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) di tingkat kecamatan, yang dibentuk memang untuk melaksanakan urusan pendidikan di daerahnya masing-masing.

Sejak tahun 2002 kebetulan penulis memang terlibat dalam proses kelahiran Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Sebagaimana telah kita ketahui, proses kelahiran Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah adalah Kepmendiknas Nomor 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Salah satu landasan hukum yang melahirkan Kepmendiknas tersebut antara lain adalah UU Nomor 25 Tahun 2000  tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 2001 – 2005. Bab VII tentang Pendidikan dalam UU tersebut, antara lain mengamanatkan bahwa untuk melaksanakan desentralisasi bidang pendidikan perlu dibentuk ”dewan sekolah” di setiap kabupaten/kota, yang kemudian lebih dikenal dengan nama generik ”dewan pendidikan”. Kemudian di setiap satuan pendidikan dibentuk “komite sekolah/madrasah”.

Untuk menjawab pertanyaan yang sangat mendasar tersebut, perlu dijelaskan tentang perubahan paradigma pelaksanaan urusan pemerintahan di negeri ini sejak kelahiran UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah. Hampir semua urusan pemerintahan di negeri ini telah diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah daerah kabupaten/kota, kecuali tiga urusan, yakni urusan politik luar negeri, keuangan, dan agama.

Dengan demikian, pendidikan termasuk urusan yang diserahkan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota. Oleh karena itu, untuk melaksanakan urusan dalam bidang pendidikan, komponen masyarakat tidak boleh tidak harus diajak bicara, harus ikut dilibatkan, mulai dari memberikan masukan dalam perencanaan dan juga dalam pengawasan dan penilaian program pendidikan. Itulah sebabnya dalam pelaksanaan urusan pendidikan, Kementerian Pendidikan Nasional, termasuk Dinas Pendidikan Provinsi dan Dinas Pendidikan Kabu-paten/Kota harus melibatkan komponen masyarakat sebagai mitra kerja sama. Termasuk satuan pendidikan, kepala sekolah juga harus menjalin hubungan dan kerja sama dengan komponen masyarakat yang bergabung dalam komite sekolah/madrasah.

Peran Serta Masyarakat

Apakah masyarakat memang memiliki peran dalam urusan pendidikan? Kalay ya, apa saja peran tersebut? Dalam Pasal 188 (2) PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, peran serta masyarakat telah dirumuskan sebagai berikut. Masyarakat menjadi sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan. Oleh karena itu,  masyarakat mempunyai peran dalam bentuk (a) penyediaan sumber daya pendidikan, (b) penyelenggaraan satuan pendidikan, (c) penggunaan hasil pendidikan, (d) pengawasan penyelenggaraan pendidikan, (e) pengawasan pengelolaan pendidikan, (f) pemberian pertimbangan dalam pengambilan keputusan yang berdampak pada pemangku kepentingan pendidikan pada umumnya; dan/atau (g) pemberian bantuan atau fasilitas kepada satuan pendidikan dan/atau penyelenggara satuan pendidikan dalam menjalankan fungsinya. Cukup banyak dan beragam kemungkinan peran yang dapat ditunaikan oleh masyarakat dalam urusan pendidikan.

Siapa masyarakat siapa saja yang akan melaksanakan peran yang begitu berat tersebut? Pertanyaan ini dapat dijawab dalam rumusan Pasal 188 (1) bahwa ”Peran serta masyarakat meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan”. Bahkan dalam Pasal 188 (4) dinyatakan bahwa peran serta masyarakat secara khusus dapat disalurkan melalui dewan pendidikan tingkat nasional, dewan pendidikan tingkat provinsi, dewan pendidikan tingkat kabupaten/kota, komite sekolah, dan atau organ representasi pemangku kepentingan satuan pendidikan. Itulah sebabnya, dewan pendidikan, mulai dari dewan pendidikan tingkat nasional, provinsi, sampai dengan kabupaten/kota, serta komite sekolah diposisikan menjadi wadah peran serta masyarakat yang paling dominan untuk meningkatkan mutu layanan pendidikan.

Fungsi Dewan Pendidikan

Dalam Pasal 192 (2) dengan tegas dijelaskan bahwa ”Dewan Pendidikan berfungsi dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota”. Tampak jelas bahwa rumusan Pasal 192 (2) PP Nomor 17 Tahun 2010 merupakan penjabaran dari Pasal 56 (3) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang di dalam Panduan Umum Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah disebutkan sebagai peran dan fungsi Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Sementara dalam Pasal 192 (3) disebutkan bahwa fungsi Dewan Pendidikan adalah meningkatkan mutu layanan pendidikan. Dengan cara bagaimana fungsi tersebut dapat dilakukan oleh Dewan Pendidikan? Ternyata fungsi Dewan Pendidikan masih juga  dilakukan dengan tiga peran, yaitu (1) memberikan pertimbangan, yang dalam Buku Panduan Umum Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah disebut peran advisory agency atau badan yang memberikan pertimbangan, (2) memberikan arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, yang di dalam Buku Panduan Umum Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah disebut sebagai suporting agency atau badan yang memberikan dukungan, serta (3) melakukan pengawasan pendidikan, sekali lagi yang dalam Buku Panduan Umum Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah dikenal dengan controlling agency atau badan yang melakukan pengawasan. Secara tegas, Pasal 192 (3) dinyatakan bahwa Dewan Pendidikan menjalankan fungsinya secara mandiri dan profesional, dalam arti tidak dapat dipengaruhi dan diitervensi oleh pihak lain, termasuk oleh unsur birokrasi pendidikan.

Tugas Dewan Pendidikan

Dalam PP Nomor 17 Tahun 2010 dijelaskan dengan lebih gamblang bahwa Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah mempunyai fungsi memberikan pertimbangan kepada birokrasi pendidikan. Pelaksanaan fungsi ini tidak akan dapat dilakukan jika Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah tidak memiliki data dan informasi atau bahan yang digunakan untuk memberikan pertimbangan itu. Oleh karena itu, dalam Pasal 192 (4) dijelaskan tentang tugas untuk memperoleh data dan informasi yang akan diserahkan sebagai bahan pertimbangan. Pasal ini menyebutkan bahwa: ”Dewan Pendidikan bertugas menghimpun, menganalisis, dan memberikan rekomendasi kepada Menteri, gubernur, bupati/walikota terhadap keluhan, saran, kritik, dan aspirasi masyarakat terhadap pendidikan”. Dalam ayat berikutnya, Pasal 192 (5) disebutkan bahwa ”Dewan Pendidikan melaporkan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada Pasal 192 (4) kepada masyarakat melalui media cetak, elektronik, laman, pertemuam, dan/atau bentuk lain sejenis sebagai pertanggungjawaban publik”.

Sungguh, pertanggungjawaban pelaksanaan tugas yang sangat akuntabel, dan ternyata sistem ini sama persis dengan yang telah dilakukan oleh Board of Education di Amerika Serikat. Board of Education negara bagian Illinois, sebagai contoh, membuat laporan pertanggungjawaban tahunannya kepada masyarakat negara bagian Illinois sebagai berikut: To the community of State of Illinois ….. Oleh karena itu, ketentuan Pasal 192 (5) tentang laporan pertang-gungjawaban publik kepada masyarakat merupakan ketentuan yang sangat patut dapat benar-benar dilaksanakan. Laporan pertanggungjawaban itu harus dibuat secara tertulis, dan laporan pertanggungjawaban itu disampaikan kepada masyarakat melalui media cetak, elektronik, laman (website), pertamuan, atau bentuk lainnya.

Unsur apa saja yang dapat menjadi pengurus Dewan Pendidikan?

Unsur apa saja yang dapat menjadi pengurus Dewan Pendidikan dijelaskan dalam Pasal 192 (6), yakni sebagai berikut: (a) pakar pendidikan, (b) penyelenggara pendidikan, (c) pengusaha, (d). organisasi profesi, (e) pendidikan berbasis kekhasan agama atau sosial-budaya; dan (f) pendidikan bertaraf internasional, (g) pendidikan berbasis keunggulan lokal; dan/atau (h) organisasi sosial kemasyarakatan.

Dalam PP Nomor 17 Tahun 2010 juga disebutkan tentang proses rekrutmen pengurus Dewan Pendidikan Nasional, Dewan Pendidikan Provinsi, Dewan Pendidikan Kabupaten/ Kota, dan Komite Sekolah. Jumlah anggota pengurus Dewan Pendidikan Nasional paling banyak 15 orang, Dewan Pendidikan Provinsi paling banyak 13 orang, Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota paling banyak 11 orang, dan untuk Komite Sekolah paling banyak 15 orang.

Proses pembentukan dan pemilihan pengurus Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah juga dijelaskan dalam beberapa pasal dalam PP Nomor 17 Tahun 2010 tersebut, yakni dilakukan oleh Panitia Pemilihan yang dibentuk untuk itu. Panitia Pemilihan melakukan rekruitmen sebanyak dua kali jumlah calon pengurus yang akan ditetapkan. Panitia Pemilihan Dewan Pendidikan Nasional memilih dan mengajukan 30 orang calon pengurus kepada Menteri Pendidikan Nasional untuk kemudian Menteri Pendidikan Nasional menetapkan SK Dewan Pendidikan Nasional. Demikian juga, Panitia Pemilihan Dewan Pendidikan Provinsi memilih dan mengajukan 26 orang calon pengurus kepada gubernur untuk kemudian gubernur menetapkan SK Dewan Pendidikan Provinsi.

Panitia Pemilihan Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota memilih dan mengajukan 22 orang calon pengurus kepada bupati/walikota untuk kemudian bupati/walikota menetapkan SK Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota. Hal yang sama, Panitia Pemilihan Komite Sekolah memilih dan mengajukan 30 orang calon pengurus Komite Sekolah, untuk kemudian kepala sekolah menetapkan SK Komite Sekolah. Lebih dari itu, proses rekrutmen yang dilakukan untuk Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah harus diumumkan secara terbuka melalui medie cetak, elektronik, dan laman.

Tampak dalam ketentuan  bahwa jumlah pengurus Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah adalah berjumlah gasal, dengan maksud agar bisa dilakukan pengungutan suara dalam proses pengambilan keputusan, termasuk dalam pemilihan pengurus Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, khususnya ketua dan sekretaisnya, setelah proses pemilihan secara mufakat tidak dapat dilakukan.

Selain itu, khusus untuk pemilihan pengurus Dewan Pendidikan Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/ Kota, proses pengusulan calon pengurus tersebut harus mendapatkan persetujuan dari (a) organisasi profesi pendidik, (b) organisasi profesi lain, atau (c) organisasi kemasyarakatan.

Anggaran Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah

Satu aspek yang banyak ditanyakan adalah tentang sumber dana atau anggaran Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Selama ini, Dewan Pendidikan melaksanakan kegiatan operasionalnya dengan dana subsidi dari pemerintah pusat dan sebagian juga berasal dari anggaran dari pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota. Bahkan, pada tahun ini subsidi stimulan Dewan Pendidikan pun tidak diberikan lagi karena alasan keterbatasan anggaran. Dalam aspek anggaran ini, PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan menyebutkan pada Pasal 192 (13) bahwa ”Pendanaan dewan pendidikan dapat bersumber dari (a) pemerintah, (b) pemerintah daerah, (c) masyarakat, (d) bantuan pihak asing yang tidak mengikat, dan/atau (e) sumber lain yang sah. Sumber dana tersebut juga secara eksplisit disebutkan untuk komite Sekolah.

Sangat disayangkan, ketentuan tentang anggaran ini telah menggunakan ”pasal karet” yang tertulis ”dapat bersumber”. Kalimat hukum seperti itu seyogyanya tidak digunakan. Pasal dengan nada yang mengharuskan saja belum tentu dilaksanakan secara bertanggung jawab, apalagi dengan kata ”dapat”. Selain itu, perihal sumber anggaran ini sebenarnya secara eksplisit perlu disebutkan sumber anggaran yang selama ini telah ikut menghidupi Dewan Pendidikan, yakni dari DUDI (dunia usaha dan dunia industri), khususnya dari sumber dana yang dikenal dengan CSR (corporate social responsibility). Dalam hal ini, perusahaan memiliki kewajiban untuk menyisihkan sedikit keuntangannya untuk kepentingan masyarakat, termasuk kepentingan pendidikan. Beberapa Dewan Pendidikan sudah mulai melaksanakan kerja sama dengan DUDI ini, dan beberapa di antaranya sudah berhasil.

Larangan dan Pengawasan

Dalam PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan ini juga terdapat ketentuan tentang larangan dan pengawasan. Kegiatan apa saja yang tidak boleh dilakukan oleh Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah? Dewan pendidikan dan/atau komite sekolah/madrasah, baik perseorangan maupun kolektif, dilarang:

menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam, atau bahan pakaian seragam di satuan pendidikan;
memungut biaya bimbingan belajar atau les dari peserta didik atau orang tua/walinya di satuan pendidikan;
mencederai integritas evaluasi hasil belajar peserta didik secara langsung atau tidak langsung;
mencederai integritas seleksi penerimaan peserta didik baru secara langsung atau tidak langsung; dan/atau
melaksanakan kegiatan lain yang mencederai integritas satuan pendidikan secara langsung atau tidak langsung.
Larangan ini harus dimaknai sebagai upaya untuk menjauhkan diri dari kemungkinan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah ikut-ikutan menumbuhsuburkan praktik korupsi dan KKN dalam pelaksanaan peran dan tugasnya untuk meningkatkan layanan pendidikan. Jangan sampai terjadi karena dengan alasan untuk melaksanakan peran dan tugasnya, lalu Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah juga melakukan cara-cara yang penuh nuansa koruptif dan KKN tersebut.

Malahan, kita memperhatikan bahwa Dewan Pendidikan lebih diposisikan sebagai agen pengawasan yang andal. Oleh karena itu Pasal 199 (1) menyebutkan bahwa: ”Pengawasan pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah”. Bahkan, pengawasan itu meliputi dua aspek penting, yakni pengawasan administratif dan pengawasan dari segi teknis edukatif yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku. Sudah barang tentu, pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah bukanlah sebagai pengawasan fungsional, sebagaimana yang harus dilakukan oleh BPK, BPKP, Inspektorat Jenderal, maupun pengawas fungsional yang lain di tingkat daerah. Pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Penididkan dan Komite Sekolah adalah jenis pangawasan sosial atau masyarakat. Namun demikian, Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah bisa saja meminta kepada lembaga independent auditor untuk membantu tugas Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, atas nama wadah peran serta masyarakat.

Akhir Kata

Demikianlah sekelumit telaahan terhadap beberapa pasal yang penting tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah yang tertuang dalam PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Mudah-mudahan, tulisan singkat ini dapat digunakan sebagai salah satu bahan sosialisasi kebijakan pemerintah tentang pendidikan di Indonesia, khususnya tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar